Bukan Santet tapi DM

Liburan tahun lalu, aku dan keluargaku berkunjung ke kampung halaman ku di Medan. Perjalanan yang amat jauh kami tempuh selama 2 hari 2 malam. Demi, menjaga keselamatan kami biasanya beristirahat sekitar pukul 1 dini hari di pom bensin atau dirumah makan, lalu pagi harinya setelah mandi dan bersih bersih mobil kami kembali melanjutkan perjalanan. Akhirnya, kami tiba di tempat kelahiranku, senangnya disambut oleh keluargaku yang sudah sangat menantikan kedatangan kami.
                Keesokan harinya, aku bangun pagi-pagi betul untuk menikmati suasana pagi yang berbeda di kampung halamanku ini. Memang sangat berbeda ternyata, disini udara lebih dingin dibandingkan kota tempat aku tinggal yaitu bengkulu. Airnya saja dinginnya beda tipis sama air es, tapi itu tidak mengurungkan niat ku untuk mandi biarpun menggigil kedinginan, aku masih bersyukur karena nenekku sudah memiliki kamar mandi dirumah jadi tidak perlu repot untuk mandi, lain halnya dengan tetangga nenekku, yang harus pergi kesungai untuk mandi, mencuci, dan keperluan lainnya. “ga bisa ngebayangin udah dingin pagi-pagi , mandinya kesungai lagi,,,”
                Hari mulai beranjak siang, ibuku mengajak aku dan saudaraku berkunjung kerumah saudara-saudaraku sambil membagikan oleh-oleh yang kami bawa dari Bengkulu. Pertama, kami berkunjung kerumah pamanku yang rumahnya paling jauh dari rumah nenek sampai akhirnya kami sampai dirumah yang terakhir yaitu rumah Bibikku.
                Cerita yang tak terlupakan buatku pun dimulai,,
Mama mengetuk pintu rumah bibikku yag dulu juga bekas rumah nenekku, setelah mengucapkan salam, tidak ada orang yang membukakan pintu rumah itu buat kami. Kemudian, mama dengan berani mencoba membuka pintu rumah bibik yang ternyata tidak dikunci.
Setelah kami masuk, ternyata bibikku sedang ada didapur memasak jadi ia tak mendengar suara kami. Ada yang berbeda dengan keadaan rumah bibikku ini, suasananya tampak begitu sepi, padahal bibikku memiliki 5 orang anak yaitu Candra, Rio, Anggi,doni dan glory , tapi tak satu pun dari mereka yang menyambut kedatang kami sungguh ironi pikirku. Padahal kami sudah datang jauh-jauh dari bengkulu untuk mengunjungi mereka tapi mereka tak mau bertemu kami. Itulah pemikiran negatifku saat itu.
Kemudian mama mencoba menanyakan kepada bibik mengapa sepupuku tidak ada yang berada dirumah. Bibik pun bercerita bahwa Anggi dan Doni pergi keladang membantu Ayahnya, sedangkan anggy dan Glori sedang bermain kerumah temannya. Bibik menjelaskan bahwa mereka tidak tahu kalau kami akan datang kerumahnya. Masih ada satu nama yang tidak disebutkan oleh bibik yaitu Candra. Aku pun bertanya : “ Candra dimana bik ? aku ingin bermain dengannya sudah lama aku tidak bertemu “ aku memang cukup akrab dengan Candra dibandingkan dengan sepupuku yang lain karena memang usia kami tidak jauh berbeda. Bibikku terdiam sejenak lalu tanpa berbicara sepatah katapun ia langsung mengajak kami masuk ke kamar yang ternyata adalah kamar tempat Candra tidur.
                Aku bingung, Candra cuman tidur siang kan kok bibik memasang raut muka yang sedih seperti itu , pertanyaan itu muncul dikepalaku. Kemudian bibik membangunkan Candra, aku terdiam ketika melihat kondisi yang dialami Candra,lalu Bibik membantu candra untuk berjalan keruang tamu.  
                Aku sampai hampir tak mengenalinya lagi, tubuhnya kurus sekali bagaikan tulang dibalut kulit saja, aku sempat mengira ia mengalami busung lapar, mukanya pucat pasi , perutnya kembung dan ia tak mampu menopang tubuhnya ketika berjalan selain itu  ia juga sering merasakan sakit kepala yang hebat. Seketika itu juga air mata menetes dipipiku, “Tuhan apa yang terjadi pada Candra”... teriakku dalam hati. Kemudian bibik mulai menjelaskan kronologi cerita sampai Candra menjadi seperti sekarang .
Bibik mengatakan bahwa banyak orang-orang sekitar yang menduga-duga bahwa Candra disantet atau diguna-guna oleh rekan ayahnya yang iri hati pada usaha penjualan ikan ayahnya yang selalu laris. Oleh karena itu ia disantet, karena Candralah yang selalu membantu Ayahnya memberi makan ikan di kolam ikan dekat sawah mereka.
 Sejak Candra lulus SMA, Ia memutuskan untuk berhenti sekolah ia memilih membantu ayahnya merawat ikan dan menanam padi, sejak itu pula usaha ayahnya semakin membaik. Itulah yang membuat warga sekitar berpikiran bahwa Candra terkena santet, Bibik ku awalnya tak percaya akan hal itu, namun ia mencoba membawa Candra untuk berobat ke Dukun atau orang pintar yang ada di desa itu, namun tidak ada perubahan yang signifikan pada Candra alias nihil, sampai Candra pun dibawa ke Gereja untuk didoakan oleh pendeta disana namun kondisi Candra belum juga berangsur pulih. Sampai pada kondisinya yang sekarang ini. Bibik mengatakan bahwa sudah banyak dukun yang ia datangi untuk menyembuh Candra namun para Dukun berkilah bahwa santet yang dialami Candra begitu kuat dan sulit untuk disembuhkan. Candra sudah menderita penyakit ini kurang lebih satu bulan, namun belum ada penanganan khusus dari tim Dokter. Bibik memang sempat membawa Candra ke Puskemas namun pihak puskesmas mengatakan bahwa Candra hanya mengalami demam biasa mereka pun memberikan obat demam biasa. “ya jelaslah Candra ga sembuh” pikirku..  Karena tidak memperoleh perlakuan yang baik dari pihak medis di puskesmas maka bibikku tak berniat untuk kembali membawa Candra ke Puskesmas lagi.
Hari telah larut malam, cerita yang panjang telah diutarakan semua oleh bibik pada kami sekeluarga, sedih bercampur bingung yang kami rasakan saat itu. Aku merasa satu sisi Candra tidak mungkin disantet, tapi disisi lain mengapa pihak puskesmas tidak dapat mendiagnosis penyakit Cndra dengan benar. Dengan sejuta tanda tanya aku pun membawa Candra dalam doaku sebelum aku tidur menutup malam itu.
Keesokan harinya, bibik mengajak kami untuk sama-sama membawa Candra, lagi-lagi ke orang pintar alias dukun atau berobat kampung. Perjalanan yang cukup jauh kami tempuh kira-kira satu jam hingga kami tiba ditempat itu, aku kasihan sekaligus sedih melihat kondisi Candra yang terbaring lemah dikursi mobil. Hanya satu harapanku semoga Candra bisa segera sembuh. Setelah menunggu sekitar 30 menit, Candra dan bibik keluar dengan raut wajah yang ketakutan sekaligus sedih. Ternyata, dukun itu mengatakan bahwa umur Candra tidak lama lagi. Saat itu juga air mata mengalir dipipi kami, tapi mama berusaha meyakinkan bibik bahwa itu belum pasti karena manusia tidak ada yang bisa menentukan kapan seseorang akan meninggal dunia. Setidaknya itu cukup membuat bibik tidak terus mengeluarkan air matanya. Sementara aku menangis sambil memandangi Candra,  dalam hati ku berbisik .. “ Tuhan jangan ambil Candra cepat-cepat, aku masih ingin bermain bersamanya,, sembuhkan Ia Tuhan, sembuhkan... ”  berharap Tuhan mendengar doaku. Kami pun pulang kembali kerumah Candra dan memutuskan untuk menginap disana karena hari telah larut malam.
                Keesokan harinya, pamanku yang paling tua datang berkunjung kerumah bibikku ini karena ia tahu kami sedang berkumpul disana. Pamanpun terkejut melihat kondisi Candra, ternyata selama ini paman tidak tahu kalau Candra sakit, karena bibik tidak pernah memberitahunya soal hal itu. Sungguh ironi, karena bibik berpikir paman orang yang sibuk jadi bibik tidak mau merepotkannya.
                Setelah paman melihat kondisi candra, paman memastikan bahwa Candra terkena Diabetes Melitus dan langsung membawa Candra kerumah sakit saat itu juga. Setelah sampai dirumah sakit dan diperiksa, ternyata dugaan paman benar. Candra mengidap penyakit diabetes melitus, aku terpukul mengapa Candra yang masih berusia muda sudah terserang penyakit itu. Dan hasil pemeriksaan dokter Gula darah Candra mencapai 600, itulah yang menyebabkan Candra tampak begitu kurus, dan kesadarannya pun mulai berkurang. Dokterpun mengatakan bahwa jika fisik Candra tidak kuat mungkin ia sudah tak dapat berjalan lagi. Sungguh bibik dan kami telah mengalami kekeliruan besar mengenai penyakit yang dialami Candra, itu yang menyebabkan Candra semakin tersiksa karena penyakitnya tak kunjung sembuh.
                Akhirnya, Candra pun harus dirawat dirumah sakit itu karena perlu perawatan khusus dari tim dokter untuk menurunkan kadar gula darahnya. Kurang lebih 2 minggu Candra dirawat gula darahnya pun telah turun menjadi 400 dan ia pun sudah dibolehkan pulang kerumah. Namun, ia tetap harus memperhatikan pola makannya agar gula darahnya tidak naik lagi serta tidak lupa untuk menghabiskan obat rutin yang telah diberikan pihak rumah sakit. Karena memang pola makan candralah yang memberi pengaruh besar terhadap kadar gula darahnya. Kata bibik, kebiasaan Candra memang selalu minum satu gelas besar teh manis dengan gula yang super banyak sebelum pergi ke ladang dan juga setiap makan.  
                Setelah beberapa hari setelah Candra pulang dari rumah sakit, kami pun pulang kembali ke Bengkulu, karena libur sekolah akan segera berakhit. Senang rasanya bisa melihat Candra sehat sebelum kami pergi meninggalkannya. Sungguh pelajaran berharga yang dapat aku peroleh mengenai kejadian yang menimpa Candra.

Comments

Popular Posts